JAKARTA, investortrust.id - Bank Indonesia mencatat, posisi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) masing-masing mencapai Rp 666,53 triliun, 2.301,50 juta dolar AS, dan 395 juta dolar AS. Hal ini membantu stabilitas rupiah. Sedangkan persepsi mengenai kesinambungan fiskal menjadi faktor penekan rupiah dari dalam negeri.
"Untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dan tercapainya
sasaran inflasi, Bank Indonesia terus mengoptimalkan berbagai instrumen
moneter pro-market, yaitu SRBI, SVBI, dan SUVBI. Kebijakan ini
juga dimaksudkan untuk mempercepat upaya pendalaman pasar uang dan
mendukung aliran masuk modal asing ke dalam negeri. Hingga 14 Juni 2024,
posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar
Rp 666,53 triliun, 2.301,50 juta dolar AS, dan 395 juta dolar AS," kata
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil Rapat
Dewan Gubernur Juni 2024, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Penerbitan SRBI, lanjut Perry, telah menarik aliran masuk asing
ke dalam negeri. Ini tecermin dari kepemilikan nonresiden yang mencapai
Rp 179,86 triliun (26,98% dari total outstanding).
"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market. Ini
baik dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil, dan didukung
kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat, untuk mendorong
berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik,"
tandas Perry.
Rupiah Tertekan Faktor Dalam Negeri
Perry
menilai stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga, sesuai dengan
komitmen kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia. "Nilai tukar rupiah
pada Juni 2024 (hingga 19 Juni 2024) terjaga, meski sempat tertekan
0,70% (ptp), setelah pada Mei 2024 menguat 0,06% (ptp) dibandingkan
dengan nilai tukar akhir bulan sebelumnya," ucapnya.
Berdasarkan data RTI, hingga pukul 13.33 WIB Kamis (20/6/2024) rupiah tercatat menurun ke Rp 16.400/USD. Secara year to date, rupiah sudah melemah 6,25%.
Perry menjelaskan, pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh
dampak tingginya ketidakpastian pasar global. Ini terutama berkaitan
dengan ketidakpastian arah penurunan Fed Funds Rate (FFR), penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan masih tingginya ketegangan geopolitik.
Dari
faktor domestik, tekanan pada rupiah juga disebabkan oleh kenaikan
permintaan valas oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen,
serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan. Dengan
perkembangan tersebut, lanjut dia, nilai tukar rupiah melemah 5,92% dari
level akhir Desember 2023, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan
won Korea, baht Thailand, peso Meksiko, real Brasil, dan yen Jepang,
masing-masing sebesar 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63%, dan 10,78%.
"Ke
depan, nilai tukar rupiah diprakirakan akan bergerak stabil. Ini sesuai
dengan komitmen Bank Indonesia untuk terus menstabilkan nilai tukar
rupiah, serta didukung oleh aliran masuk modal asing, menariknya imbal
hasil, rendahnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap
baik," tuturnya.
Ia menegaskan, Bank Indonesia terus mengoptimalkan seluruh
instrumen moneter. Ini termasuk peningkatan intervensi di pasar valas
serta penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI.
Bank
Indonesia juga memperkuat koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan
dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas
Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Hal ini sejalan dengan
PP Nomor 36 Tahun 2023.
Inflasi juga menurun dan tetap terjaga dalam kisaran sasaran
2,5±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Mei 2024 tercatat 2,84%
(yoy), lebih rendah dari inflasi pada April 2024 sebesar 3,00% (yoy).
Perkembangan ini dipengaruhi oleh inflasi inti dan inflasi administered prices (AP) yang rendah masing-masing sebesar 1,93% (yoy) dan 1,52% (yoy).